PENA DAKWAH

sumber informasi dakwah untuk para muslim

Zubair bin Awwan

Sirah edisi kali ini akan membicarakan seorang sahabat Assabiquunalawwaluun. Dia masuk Islam pada usianya yang masih muda, 15 tahun. Ya,sahabat itu bernama Zubair bin Awwam. Mari kita ikuti sirah sahabat yang satu ini.
Setiap kali nama Thalhah disebut, nama Zubair juga disebut. Dan setiap kali disebut nama Zubair, nama Thalhah pun pasti disebut.
Sewaktu Rasulullah SAW mempersaudarakan para sahabatnya di Makkah sebelum hijrah, beliau mempersaudarakan Thalhah dengan Zubair. Sudah sejak lama Nabi SAW bersabda tentang keduanya secara bersamaan, seperti sabda beliau, “Thalhah dan Zubair adalah tetanggaku di surga.”
Keduanya masih kerabat Rasulullah. Thalhah masih keturunan kakek buyut Rasulullah yang bernama Murrah bin Ka’ab, sedangkan Zubair masih keturunan kakek buyut Rasulullah yang bernama Qusai bin Kilab. Shafiyah, ibu Zaubair, juga bibi Rasulullah.
Ia ahli menunggang kuda dan memiliki keberanian, sejak kecil. Bahkan, ahli sejarah menyebutkan bahwa pedang pertama yang dihunuskan untuk membela Islam adalah pedang Zubair bin Awwam.
Di masa-masa awal, saat jumlah kaum muslimin masih sedikit dan masih bermarkas di rumah Arqam, terdengar berita bahwa Rasulullah terbunuh. Zubair langsung menghunus pedang lalu berkeliling kota Makkah laksana tiupan angin kencang, padahal usianya masih muda belia.Yang pertama kali dilakukannya adalah mengecek kebenaran berita tersebut. Seandainya berita itu benar, ia bertekad menggunakan pedangnya untuk memenggal semua kepala orang-orang kafir Quraisy atau ia sendiri yang gugur.
Di satu tempat, di bagian kota Makkah yang agak tinggi, ia bertemu Rasulullah. Rasulullah menanyakan maksudnya. Ia menceritakan berita yang ia dengar dan menceritakan tekadnya. Maka, beliau berdoa agar Zubair selalu diberi kebaikan dan pedangnya selalu diberi kemenangan.
Sekalipun Zubair seorang bangsawan terpandang, namun ia juga merasakan penyiksaan Quraisy. Orang yang disuruh menyiksanya adalah pamannya sendiri. Ia pernah diikat dan dibungkus tikar lalu diasapi hingga kesulitan bernapas. Di saat itulah sang paman berkata, “Larilah dari Tuhan Muhammad, akan kubebaskan kamu dari siksa ini.”
Meskipun masih muda belia, Zubair menjawab dengan tegas, “Tidak! Demi Allah, aku tidak akan kembali kepada kekafiran untuk selama-lamanya.”
Zubair ikut dalam perjalanan hijrah ke Habasyah dua kali. Kemudian ia kembali, untuk mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah, hingga tidak satu pun peperangan yang tidak ia ikuti. Banyaknya bekas luka pedang dan tombak di tubuhnya adalah bukti keberanian dan kepahlawanannya.
Di perang Yarmuk, Zubair memerankan satu pasukan tersendiri. Ketika banyak prajuritnya yang lari ketakutan melihat jumlah pasukan Romawi yang begitu banyak, ia berteriak, “Allaahu Akbar”, lalu menyerbu pasukan Romawi sendirian dengan pedangnya.
Ia sangat rindu untuk syahid. Ia berkata, “Thalhah bin Ubaidillah memberi nama anak-anaknya dengan nama nabi-nabi padahal tidak ada nabi setelah Muhammad SAW. Karena itu, aku memberi nama anak-anakku dengan nama para syuhada dengan harapan mereka syahid.”
Disebutkan dalam buku sejarah, “Zubair tidak pernah menjadi bupati atau gubernur. Tidak pernah menjadi petugas penarik pajak atau cukai. Ia tidak pernah menduduki jabatan kecuali sebagai pejuang perang membela agama Allah.”
Ia sangat percaya dengan kemampuannya di medan perang dan itulah kelebihannya. Meskipun pasukannya berjumlah 100 ribu prajurit, namun ia seakan-akan sendirian di arena pertempuran. Seakan-akan dia sendiri yang memikul tanggung jawab perang. Keteguhan hati di medan perang dan kecerdasannya dalam mengatur siasat perang adalah keistimewaannya.
Ia melihat gugurnya sang paman, yaitu Hamzah, di Perang Uhud, di Perang Uhud. Ia juga melihat bagaimana tubuh pamannya dicabik-cabik oleh pasukan kafir. Ia berdiri dekat jenazah sang paman. Gigi-giginya terdengar gemeretak dan genggaman pedangnya semakin erat. Hanya satu yang dipikirkannya, yaitu balas dendam. Akan tetapi, wahyu segera turun melarang kaum muslimin melakukan balas dendam.
Rasulullah sangat sayang kepada Zubair. Beliau bahkan pernah menyatakan kebanggaannya atas perjuangan Zubair. “Setiap nabi mempunyai pembela dan pembelaku adalah Zubair bin Awwam.” Bukan karena sebagai saudara sepupu dan suami dari Asma binti Abu Bakar yang bergelar “Dzatun Niqatain” (memiliki dua selendang), melainkan karena pengabdiannya yang luar biasa, keberaniannya yang tiada dua, kepemurahannya yang tidak terkira, dan pengorbanan diri serta hartanya untuk Allah, Tuhan alam semesta.

Sungguh tepat apa yang dikatakan Hasan bin Tsabit ketika melukiskan sifat-sifatnya.

Janjinya kepada Nabi selalu ia tepati Atas petunjuk Nabi ia berbakti
Dialah sang pembela sejati Kata dan perbuatannya bagai merpati
Di jalan Nabi, ia berjalan Bela kebenaran sebagai tujuan
Jika api peperangan sudah menyala Dialah penunggang kuda tiada dua
Dialah pejuang tak kenal menyerah Dengan Rasul, masih keluarga
Terhadap Islam, selalu membela
Pedangnya selalu siaga Kala Rasul dihadang bahaya
Dan Allah tidak ingkar pada janji-Nya Memberi pahala tiada terkira

***
Di perang Jamal, seperti yang tersebut dalam kisah Thalhah, perjalanan hidup Zubair berakhir. Setelah ia mengetahui duduk permasalahannya, lalu meninggalkan peperangan, ia dikuntit oleh sejumlah orang yang menginginkan perang tetap berkecamuk. Ketika Zubair sedang melaksanakan shalat, mereka menikam Zubair.
Ketika pedang Zubair ditunjukkan kepada Ali, ia menciumnya. Lalu ia menangis dan berkata, “Demi Allah, sekian lama pedang ini melindungi Nabi dari marabahaya.”
Adakah kata yang lebih indah dari kata-kata Khalifah Ali untuk melepas kepergian Zubair?
Salam sejahtera untukmu, wahai Zubair, di alam kematian.
Beribu salam sejahtera untukmu, wahai pembela Rasulullah. [sumber : 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW]

0 komentar:

Posting Komentar